Kamis, 23 Mei 2013

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (SLB-D TUNA DAKSA)



SLB-D adalah lembaga pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan khusus bagi anak tunadaksa.
Anak tunadaksa adalah salah satu jenis anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian (cacat fisik).

Sistem Pendidikan Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa ada yang mengalami kelainan fisik atau tubuhnya saja, dan ada yang mengalami gangguan fisik disertai dengan berbagai gangguan seperti gangguan kecerdasan, persepsi, komunikasi. Keragaman tingkat kecacatan tersebut berdampak pada segi layanan pendidikannya.
Tujuan pendidikan anak tunadaksa besifat ganda yaitu berkaitan dengan aspek rehabilitasi yang sasarannya adalah pemulihan fungsi fisik dan berhubungan dengan tujuan pendidikan.
Connor (1975) mengemukakan sekurang-kurangnya ada 7 aspek yang perlu dikembangkan pada diri masing-masing anak tunadaksa melalui pendidikan, yaitu :
·        Pengembangan intelektual dan akademik
·        Membantu perkembangan fisik
·        Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak
·        Mematangkan aspek sosial
·        Mematangkan moral dan spiritual
·        Meningkatkan ekspresi diri
·        Mempersiapkan masa depan anak

Prinsip dasar program pendidikannya meliputi :
a.    Kesuluruhan anak
b.   Kenyataan
c.    Program yang dinamis
d.   Kesempatan yang sama
e.    Kerjasama
Prinsip khusus pendidikan anak tunadaksa terdiri dari prinsip multisensori dan prinsip individualis. Multisensori berarti banyak indera, maksudnya anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indera-indera yang ada dalam diri anak. Prinsip individualis berarti kemampuan dari masing-masing individu menjadi titik tolak dalam memberikan pendidikan pada mereka.
Frances P. Connor (1975) mengusulkan bentuk-bentuk pendidikan untuk anak tunadaksa sebagai berikut : kelas biasa (regular), kelas atau sekolah khusus, pengajaran di rumah, sekolah di rumah sakit.
Gagne membagi kegiatan belajar mengajar ke dalam 8 fase, yaitu : motivasi, perhatian, menghimpun, menyimpan, mengungkapkan kembali, generalisasi dan transfer, perbuatan, balikan dan penguatan.
Struktur Kurikulum Pendidikan Khusus
Struktur kurikulum dikembangkan untuk peserta didik berkelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berdasarkan standar kompetensi lulusan, standar kompetensi mata pelajaran, dan standar kompetensi mata pelajaran.
Kurikulum pendidikan khusus terdiri atas 8 sampai dengan 10 mata pelajaran : muatan lokal, program khusus, dan pengembangan diri. 

Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah. Program khusus berisi kegiatan yang bervariasi sesuai dengan jenis ketunaannya, yaitu program orientasi dan mobilitas untuk peserta didik tunanetra, bina komunikasi persepsi bunyi dan irama untuk peserta didik tunarungu, bina diri untuk peserta didik tunagrahita, bina gerak untuk peserta didik tunadaksa, dan bina pribadi dan sosial untuk peserta didik tunalaras.

Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, bakat dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatannya difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.
Peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, dalam batas-batas tertentu masih dimungkinkan dapat mengikuti kurikulum standar meskipun harus dengan penyesuian-penyesuaian. Peserta didik berkelainan yang disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, diperlukan kurikulum yang sangat spesifik, sederhana dan bersifat tematik untuk mendorong kemandirian dalam hidup sehari-hari.
Peserta didik berkelainan tanpa disertai kemampuan intelektual dibawah rata-rata, yang berkeinginan untuk melanjutkan sampai ke jenjang pendidikan tinggi, semaksimal mungkin didorong untuk dapat mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan umum sejak SD. Jika peserta didik mengikuti pendidikan pada satuan pendidikan SDLB, setelah lulus didorong untuk dapat melanjutkan ke SMP umum. Bagi mereka yang tidak memungkinkan dan/atau tidak berkeinginan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, setelah lulus SDLB, dapat melanjutkan pendidikan kejenjang SMPLB, dan SMALB.
Struktur kurikulum SDLB tunadaksa terdiri dari 8 mata pelajaran, yaitu: Pendidikan agama, kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, seni budaya dan keterampilan, pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan. Muatan lokal, program khusus bina gerak, dan pengembangan diri.
Struktur kurikulum SMPLB Tunadaksa terdiri dari 10 mata pelajaran, yaitu: Pendidikan agama, kewarganegaraan, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, IPS, IPA, seni budaya, Penjas Orkes, keterampilan vokasional/teknologi informasi dan komunikasi. Muatan lokal, Program khusus bina gerak, dan Pengembangan diri.
Struktur kurikulum SMALB Tunadaksa terdiri dari 10 mata pelajaran sama dengan SMPLB, bedanya pada jumlah jam yang lebih banyak.

Penjelasan di atas adalah hasil diaskusi dari kelompok kami pada matakuliah Psikologi Pendidikan yang kami ambil dari beberapa sumber seperti buku pengantar psikologi pendidikan ( Santrock) dan Wikipedia.berikut nama anggota kelompok ( BRENDA ,NIRMAY,HILLARY,EVASARI,MARIANNA) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar