SLB-D adalah lembaga pendidikan formal yang menyelenggarakan
pendidikan khusus bagi anak tunadaksa.
Anak tunadaksa adalah salah satu jenis anak berkebutuhan khusus
yang mengalami kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian
(cacat fisik).
Sistem
Pendidikan Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa ada yang mengalami kelainan fisik atau tubuhnya
saja, dan ada yang mengalami gangguan fisik disertai dengan berbagai gangguan
seperti gangguan kecerdasan, persepsi, komunikasi. Keragaman tingkat kecacatan
tersebut berdampak pada segi layanan pendidikannya.
Tujuan pendidikan anak tunadaksa besifat ganda yaitu berkaitan
dengan aspek rehabilitasi yang sasarannya adalah pemulihan fungsi fisik dan
berhubungan dengan tujuan pendidikan.
Connor
(1975) mengemukakan sekurang-kurangnya ada 7 aspek yang perlu dikembangkan pada
diri masing-masing anak tunadaksa melalui pendidikan, yaitu :
·
Pengembangan
intelektual dan akademik
·
Membantu
perkembangan fisik
·
Meningkatkan
perkembangan emosi dan penerimaan diri anak
·
Mematangkan
aspek sosial
·
Mematangkan
moral dan spiritual
·
Meningkatkan
ekspresi diri
·
Mempersiapkan
masa depan anak
Prinsip
dasar program pendidikannya meliputi :
a.
Kesuluruhan
anak
b.
Kenyataan
c.
Program yang
dinamis
d.
Kesempatan
yang sama
e.
Kerjasama
Prinsip khusus pendidikan anak tunadaksa terdiri dari prinsip
multisensori dan prinsip individualis. Multisensori berarti banyak indera,
maksudnya anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan
indera-indera yang ada dalam diri anak. Prinsip individualis berarti kemampuan
dari masing-masing individu menjadi titik tolak dalam memberikan pendidikan
pada mereka.
Frances P.
Connor (1975) mengusulkan bentuk-bentuk pendidikan untuk anak tunadaksa sebagai
berikut : kelas biasa (regular), kelas atau sekolah khusus, pengajaran di
rumah, sekolah di rumah sakit.
Gagne membagi kegiatan belajar mengajar ke dalam 8 fase, yaitu :
motivasi, perhatian, menghimpun, menyimpan, mengungkapkan kembali, generalisasi
dan transfer, perbuatan, balikan dan penguatan.
Struktur
Kurikulum Pendidikan Khusus
Struktur kurikulum dikembangkan untuk peserta didik berkelainan
fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berdasarkan standar
kompetensi lulusan, standar kompetensi mata pelajaran, dan standar kompetensi
mata pelajaran.
Kurikulum pendidikan khusus terdiri atas 8 sampai dengan 10 mata
pelajaran : muatan lokal, program
khusus, dan pengembangan diri.
Muatan lokal merupakan
kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri
khas dan potensi daerah. Program khusus berisi kegiatan yang bervariasi sesuai
dengan jenis ketunaannya, yaitu program orientasi dan mobilitas untuk peserta
didik tunanetra, bina komunikasi persepsi bunyi dan irama untuk peserta didik
tunarungu, bina diri untuk peserta didik tunagrahita, bina gerak untuk peserta
didik tunadaksa, dan bina pribadi dan sosial untuk peserta didik tunalaras.
Pengembangan diri bukan
merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan
mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, bakat dan minat setiap
peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatannya difasilitasi dan atau
dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan
dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.
Peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan
intelektual di bawah rata-rata, dalam batas-batas tertentu masih dimungkinkan
dapat mengikuti kurikulum standar meskipun harus dengan penyesuian-penyesuaian.
Peserta didik berkelainan yang disertai dengan kemampuan intelektual di bawah
rata-rata, diperlukan kurikulum yang sangat spesifik, sederhana dan bersifat
tematik untuk mendorong kemandirian dalam hidup sehari-hari.
Peserta didik berkelainan tanpa disertai kemampuan intelektual
dibawah rata-rata, yang berkeinginan untuk melanjutkan sampai ke jenjang
pendidikan tinggi, semaksimal mungkin didorong untuk dapat mengikuti pendidikan
secara inklusif pada satuan pendidikan umum sejak SD. Jika peserta didik
mengikuti pendidikan pada satuan pendidikan SDLB, setelah lulus didorong untuk
dapat melanjutkan ke SMP umum. Bagi mereka yang tidak memungkinkan dan/atau
tidak berkeinginan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, setelah
lulus SDLB, dapat melanjutkan pendidikan kejenjang SMPLB, dan SMALB.
Struktur kurikulum SDLB tunadaksa terdiri dari 8 mata pelajaran, yaitu: Pendidikan agama,
kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, seni budaya dan
keterampilan, pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan. Muatan lokal,
program khusus bina gerak, dan pengembangan diri.
Struktur kurikulum SMPLB Tunadaksa terdiri dari 10 mata pelajaran, yaitu: Pendidikan agama,
kewarganegaraan, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, IPS, IPA, seni
budaya, Penjas Orkes, keterampilan vokasional/teknologi informasi dan
komunikasi. Muatan lokal, Program khusus bina gerak, dan Pengembangan diri.
Struktur
kurikulum SMALB Tunadaksa terdiri dari 10 mata pelajaran
sama dengan SMPLB, bedanya pada jumlah jam yang lebih banyak.
Penjelasan
di atas adalah hasil diaskusi dari kelompok kami pada matakuliah
Psikologi Pendidikan yang kami ambil dari beberapa sumber seperti buku
pengantar psikologi pendidikan ( Santrock) dan Wikipedia.berikut nama
anggota kelompok ( BRENDA ,NIRMAY,HILLARY,EVASARI,MARIANNA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar